Sunday, 11 November 2018

Contoh Makalah : AKHLAQ KEPADA ALLAH 2 (Tawakal dan Syukur)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akhlak merujuk kepada amalan, dan tingkah laku tulus yang tidak dibuat-buat yang menjadi kebiasaan. Manakala menurut istilah Islam, akhlak ialah sikap keperibadian manusia terhadap Allah, manusia, diri sendiri dan makhluk lain, sesuai dengan suruhan dan larangan serta petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Ini berarti akhlak merujuk kepada seluruh perlakuan manusia sama ada berbentuk lahiriah maupun batiniah yang merangkumi aspek amal ibadah, percakapan, perbuatan, pergaulan, komunikasi, kasih sayang dan sebagainya.
Dalam makalah ini yang di bahas adalah akhlak kepada Allah SWT. Yaitu tentang Tawakal dan syukur. Sehingga nantinya seorang muslim akan menjadi seorang yang berakhlak mulia khususnya akhlak Kepada Allah SWT. Dan adapun akhlak kepada Allah yaitu menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Jadi seorang muslim itu hendaknya taat terhadap apa yang diperintahkan oleh Tuhannya. Sehingga akhlak orang muslim kepada Allah yaitu beriman dan taqwa kepada Allah SWT.



B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dan hikmah tawakal ?
2. Pengertian, dimensi dan keutamaan syukur ?

C. Tujuan
a. Mengetahui pengertian dan hikmah tawakal
b. Memahami apa pengertian, dimensi dan keutamaan syukur

D. Manfaat
1) Dapat mengetahui mengenai pengertian dan hikmah tawakal
2) Dapat memahami pengertian, dimensi dan keutamaan syukur


BAB II
AKHLAQ KEPADA ALLAH 2
(Tawakal dan Syukur)
1. Tawakal
Tawakal adalah membebaskan hati dari segala ketergantungan kepada selain Allah dan menyerahkan keputusan segala sesuatunya kepada- Nya. Seorang muslim hanya boleh bertawakal kepada Allah semata, Allah SWT berfirman:
“ Dan kepunyaan Allah lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada- Nya lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada- Nya. Dan sekali – sekali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kau kerjakan.” (QS. Hud 11:123)
Tawakal adalah salah satu buah keimanan. Setiap orang yang beriman bahwa semua urusan kehidupan, dan semua manfaat dan mudharat ada di tangan Allah, akan menyerahkan segala sesuatunya kepada- Nya dan akan ridha dengan segala kehendak- Nya. Dia tidak takut menghadapi masa depan, tidak kaget dengan segala kejutan. Hatinya tenang dan tentram, karena yakin akan keadilan dan rahmat Allah. Oleh sebab itu Islam menetapkan bahwa iman harus diikuti oleh sikap tawakal. Allah berfirman :
“…. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu benar – benar orang yang beriman.“ (QS. Al Maidah 5:23)
“(Dialah) Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Dan hendaklah orang – orang mungkin bertawakal kepda Allah saja. “ (QS. At- Taghabun 64:13)
Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar). Tidaklah dinamai tawakal kalu hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa – apa. Sikap pasrah seperti itu adalah salah satu bentuk kesalahpahaman terhadap hakekat tawakal. Menurut Syaikh Muhammad Ahmad ‘Arif, dalam salah satu khutbahnya di Masjid al-Azhar Cairo menceritakan bagaimana kesalahpahaman terjadi pada masa ImamAhmad ibn Hanbal. Ada seorang yang malas bekerja dan masa bodoh. Ketika beliau bertanya mengenai hadist Rasullullah yang mengatakan :
3
“ Jika saja kamu sekalian bertawakal kepada Allah dengan sepenuh hati niscaya Allah akan memberikan rezeki untukmu sekalian, sebagaimana Ia memberinya kepada burung; burung itu pergi dalam keadaan lapar dan pulang dalam keadaan kenyang” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Islam memerintahkan kepada umatnya untuk mengikuti sunnatullah tentang hukum sebab dan akibat. Usaha harus selalu dilakukan. Perhatikan dalam situasi perang, sewaktu shalatpun kaum muslimin tidak boleh meninggalkan senjata. Allah berfirman :
“Dan apabila kamu berada ditengah – tengah mereka (sahabatnu) lalu kamu hebdak mendirikan shalat bersama – sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat bersertamu) sujud (telah menyempurnakan sereka’at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang segolongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalat denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang siaga. Orang – orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus…” (QS. An – Nisa 4: 102)
Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk tetap selalu waspada, tidak lalai atau acuh tak acuh :
“ Hai orang – orang yang beriman, bersiap siagalah kamu dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok kelompok, atau majulah bersama – sama. “ (QS. An- Nisa 4 : 71)
Jangan Bertawakal Kepada Ikhtiar
Sekalipun kita disuruh untuk berikhtiar sebelum bertawakal, disuruh mengikuti hukum sebab akibat, tetapi kita tidak boleh bertawakal kepada ikhtiar.Sebab akibatmemang sunnatullah, belajar adalah sebab untuk mendapatkan ilmu. Berobat adalah sebab untuk sehat. Misalnya dua orang pasien di rumah sakit, penyakitnya sama, dokternya sama, obatnya sama, tapi yang satu meninggal dan yang satu hidup.

Sekalipun bukan sebab saja yang menimbulkan akibat,tetapi sebab tidak boleh pula dilupakan. Yang disuruh oleh Syara’ dan sesuai dengan akal adalah mengusahakan sebab, dan menyerahkan hasilnya kepada Allah.Usaha tanpa pertolongan Allah bisa sia – sia. Oleh sebab itu seorang muslim tidak menggantungkan diri sepenuhnya kepada ikhtiar (tanpa memasrahkannya kepada Allah), karena sikap seperti itu akan mendatangkan kesombongan. Muslim pernah mendapatkan pelajaran yang berharga waktu Perang Hunain.Mereka bangga dengan junlah pasukan yang banyak, akhirnya mengalami kekalahan. Tentang hal ini Allah menggambarkan dalam Al – Qur’an : “ Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena bayaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudiankamu lari ke belakang dengan bercerai berai. “ (QS. At – Taubah 9 : 25)
Sikap tawakal sangat bermanfaat sekali untuk mendapatkan ketenangan batin, sebab apabila seseorang telah berusaha sungguh – sungguh untuk mencapai sesuatu mengerahkan segala tenaga dan dana. Membuat perencanaan dengan sangat cermat dan detail melaksanakannya dengan disiplin dan melakukan pengawasan dengan ketat. Kalau kemudian masih mengalami kegagalan, dia tidak akan berputus asa. Dia menerimanya sebagai musibah dari Allah SWT yang harus dihadapi dengan sabar.
Sebaliknya jika berhasil dengan baik, dia bersyukur kepada Allah SWT. Tidak sombong dan membanggakan diri karena dia yakin semua usahanya tidak akan berhasil tanpa izin dari Allah SWT. Dengan demikian, situasi yang dihadapinya dengan tenang.Bila gagal bersabar, bila berhasil bersyukur.Namun sebaliknya dengan seseorang yang tidak memiliki konsep tawakal dalam hidupnya, kegagalan dapat membuatnya stress dan putus asa.Sementara keberhasilannya dapat membuatnya sombong dan lupa diri.
Memberikan ketenangan dan kepercayaan diri kepada seseorang untuk menghadapi masa depan. Dia akan menghadapi masa depannya segala kemungkinannya tanpa rasa takut dan cemas. Yang terpenting berusaha sekuat tenaga, hasilnya Allah yang menentukan. Bandingkan dengan orang yang tidak punya sikap tawakal, membayangkan persaingan kehidupan yang semakin keras pada masa yang akan datang. Membayangkan bermacam – macam penyakit berbahaya yang mengancam kehidupan manusia serta hal – hal yang menakutkan lainnya.Yang menyebabkan kecemasan dan gelisah yang tentu mempengaruhi kesehatan fisiknya.
Dan yang lebih penting lagi orang bertawakal akan dilindungi oleh Allah SWT. Allah berfirman : “ …Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. “ (QS. At- Thalaq 65: 3).
2. Syukur
Syukur adalah memuji yang memberikan nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya.Syukurnya seorang hamba berkisar tiga hal, yang apabila ketiganya tidak berkumpul, maka tidaklah dinamakan bersyukur, yaitu mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir dan menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah. Jadi syukur berkaitan dengan hati (untuk ma’rifah dan mahabbah), lisan untuk memuja dan menyebut nama Allah, dan anggota badan untuk menggunakan nikmat yang diterima sebagai sarana untuk menjalankan ketaatan kepada Allah dan menahan diri dari maksiat kepada-Nya.
Syukur berbeda dengan al-hamdu(pujian), karena syukur selalu sebagai respon terhadap nikmat atau pemberian yang diterima.Sedangkan al- hamdumenyangkut sifat terpuji yang melekat pada diri yang dipuji tanpa suatu keharusan si pemuji mendapatkan nikmat atau pemberian dari yang dipuji.Al-hamdu atau pujian cukup dengan lisan.Syukur harus melibatkan tiga dimensi yaitu hati, lisan dan jawarih(anggota badan). Misalnya seorang muslim, bersyukur kepada Allah SWt atas kekayaan harta benda yang didapatnya maka yang pertama kali harus dilakukannya adalah mengetahui dan mengakui bahwa semua kekayaan yang didapatnya itu adalah karunia dari Allah SWT. Ikhtiar tanpa taufiq dari Allah SWT tidak akan menghasilakan apa yang diinginkan.
Oleh sebab itu dia harus bersyukur kepada Allah Yang Maha Pemurah dan maha Pemberi Rezeki.Setelah itu dia baru mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk puji – pujian seperti al- hamdulillah, as- syukrulillah dll.Kemudian dia buktikan rasa syukurnya itu dengan amal perbuatan yang nyata yaitu memanfaatkan harta kekayaan itu pada jalan yang diridhai oleh Allah SWT.Baik untuk keperluannya sendiri maupun untuk keperluan keluarga, umat atau fi sabilillah lainnya.

Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin untuk bersyukur kepada- Nya, firman- Nya :
“ Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada- Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat) Ku. “ (QS. Al Baqarah 2:152)
Manusia diperintahkan bersyukur kepada Allah SWT bukanlah untuk kepentingan Allah SWT sendiri, karena Allah SWT ghaniyun’anil’alamin(tidak memerlukan apa-apa dari alam semesta), tetapi justru untuk kepentingan manusia itu sendiri. Allah menyatakan dalam surat Luqman ayat 12 dan surat Ibrahim ayat 7 yang berbunyi :
“ …Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), apa sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS. Luqman 31:12)

“ Dan ingatlah, tatkala Tuhanmu memaklumkan : Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14:7)



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tawakal merupakan berserah diri kepada Allah atas semua hal yang telah dilakukan.Tawakal harus diawali dengan kerja keras dan usaha maksimal (ikhtiar).Tidaklah dinamaka tawakal kalau hanya pasrah menunggu nasib sambil berpangku tangan tanpa melakukan apa-apa. Dengan kita bertawakal kepada Allah kita mendapatkan hikmah dari bertawakal yaitu mendapatkan ketenangan batin dan memberikan ketenangan dan kepercayaan diri kepada seseorang untuk menghadapi masa depan.

Syukur adalah memuji si pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukan.Syukur seseorang hamba berkisar atas atas tiga hal yaitu mengakui nikmat dalam batin, membicarakannya secara lahir dan menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah, jika ketiga hal ini tidak berkumpul maka tidaklah dinamakan syukur.Syukur berbeda dengan pujiaan karena syukur selalu sebagai respon terhadap nikmat yang diterima.Sedangkan pujian menyangkut sifat terpuji yang melekat pada diri yang dipuji tanpa suatu keharusan pemuji mendapatkan nikmat dari yang dipuji.Syukur memiliki tiga dimensi yaitu hati, lisan dan jawariah (anggota badan).Keutamaan syukur diantaranya akan menambah nikmat bagi manusia itu.



DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia

Yunahar Ilyas. 2000. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta : LPPI UMY

No comments:

Post a Comment